Senin, 18 Mei 2009

Antara Pemilu 1955 dan Pemilu-pemilu Orde Baru

Luar biasa. Bahkan untuk ukuran saat ini, pemilihan umum tahun 1955 memang luar biasa. Tak punya pengalaman berdemokrasi, diikuti oleh 118 partai politik, organisasi, golongan dan perseorangan, serta dipayungi pula oleh pelbagai persaingan antar aliran politik, tapi toh hasilnya oke punya. Gesekan fisik alias konflik nyaris tak ada.

Para pakar takjub dengan pengalaman bangsa Indonesia kala itu. Nurcholis Madjid, rektor Universitas Paramadinamulya, menilai proses pelaksanaan pemilu 1955 itu berlangsung secara aman sehingga dapat dijadikan acuan (Kompas, 1 Juli 1998). Walau memang ada kekerasan politik, Deliar Noer dalam Islam, Pancasila dan Asas Tunggal (Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1948)berkomentar, "... sebab musabab keberingasan itu tidak terletak pada asas partai yang berbeda, karena sejarah politik di negeri kita juga memperlihatkan ketenangan dan kedamaian pada pemilu 1955 ketika perbedaan asas partai lebih banyak terdapat."

Penilaian positif atas pelaksanaan pemilu 1955 juga diberikan oleh Dr. Alfian. Dalam "Pemilihan Umum dan Prospek Demokrasi di Indonesia," (dalam Demokrasi dan Proses Politik, Jakarta, LP3ES), ahli politik LIPI ini berpendapat, "dari segi pelaksanaannya, pemilu dapat dikatakan berjalan dengan bersih dan jujur, dan oleh karena itu suara yang diberikan anggota masyarakat mencerminkan aspirasi dan kehendak politik mereka.

Kesan apa yang kita berikan atas pemilu 1955 dari penilaian mereka di atas? Luar biasa. Mungkin bukan saja untuk ukuran saat itu, tapi juga jika diperbandingkan dengan praktek penyelenggaraan pemilu-pemilu Orde Baru.

Ada enam kali penyelenggaraan pemilu dibawah kekuasaan Orde Baru. Dan itu sudah cukup menunjukkan keberhasilan Orde Baru menjaga keberkalaan pemilu itu sendiri. Namun itu bukanlah hal penting, karena praktiknya pemilu-pemilu Orde Baru menghasilkan pola perimbangan antarkekuatan politik yang khas dan terjaga. Golkar selalu menjadi pemenang dengan perolehan suara mayoritas mutlak, ditengah-tengah tingginya tingkat partisipasi "mobilisasi" rakyat. Keberkalaan yang terjaga itu tidak dibarengi oleh peningkatan kualitas pemilu secara signifikan. Kemenangan demi kemenangan Golkar dicapai melalui praktek-praktek politik yang nyata-nyata tidak elegan dan tidak sehat.

Dengan setting penyelenggaraan pemilu macam itu tak aneh jika hampir di setiap kampanye diwarnai dengan bentrokan. Wajarlah pada akhirnya, jika praktek penyelenggaraan pemilu-pemilu Orde Baru digambarkan oleh seorang Indonesianis, William Liddle, dalam buku Pemilu-pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik (Jakarta, 1992) sebagai berikut:

"Pemilu-pemilu Orde Baru bukanlah alat yang memadai untuk mengukur suara rakyat. Pemilu-peilu itu dilakukan melalui sebuah proses yang tersentralisasi pada tangan-tangan birokrasi. Tangan-tangan itu tidak hanya mengatur hampir seluruh proses pemiu, namun juga berkepentingan untuk merekayasa kemenangan bagi "partai milik pemerintah". Kompetisi ditekan seminimal mungkin, dan keragaman pandangan tidak memperoleh tempat yang memadai."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar